Membangun Pesona Pasar Desa - detikNews

"Kemiskinan adalah hantu yang setia menjaga kebanyakan rumah di desa." Selarik kata-kata dari penyair Sapardi Djoko Damono itu sungguh menggambarkan bagaimana desa sangat akrab dengan nuansa kemiskinan dan kemelaratan. Apabila kita menelisik ke pelosok desa-desa yang ada di sekitar kita, bisa dilihat bahwa kemiskinan menjadi sebuah momok kultural dan menjelma sebagai sebuah kewajaran. Berbagai persoalan tersebut dibiarkan begitu saja tanpa ada inovasi dan kreasi kebijakan oleh pemerintah desa. Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pun sekaligus menisbahkan fakta miris tentang kemiskinan di desa.
BPS melansir per September 2018 persentase kemiskinan perdesaan mencapai 13,1%, hampir dua kali lipat persentase kemiskinan di perkotaan yang berkisar pada angka 6,89%. Kondisi ini diperparah dengan catatan inflasi di desa yang mencekik pada penutupan tahun 2018 yaitu di angka 0,38%. Angka ini lebih tinggi dari tingkat inflasi nasional yang berada pada kisaran 0,28%.
Melihat kondisi ini, pemerintah pusat sebenarnya tidak tinggal diam. Dengan mengusung slogan "membangun Indonesia dari pinggiran", pemerintah telah merilis kebijakan pengalokasian dana desa yang cukup besar. Tercatat jumlah penyaluran dana desa tahun 2015-2017 sebesar Rp 122,09 triliun, sedangkan hingga tahun 2018 pada tahap 2 sebesar Rp149,31 triliun. Ini membuktikan bahwa stimulus pemerintah melalui penggelontoron dana untuk mendorong kemandirian ekonomi di desa belum maksimal.
Tentunya sangat disayangkan apabila melihat usaha pemerintah yang telah menggelontorkan dana begitu besar, namun tidak diimbangi dengan berbagai aksi nyata dari para pemuka pemerintahan di lingkup Desa. Mindset kinerja perangkat desa yang hanya berkutat pada alur administrasi dan penanggung jawab proyek serta program yang datang dari atas mengakibatkan banyak Desa terkebiri potensinya karena didikte oleh beberapa kepentingan orang.
Para perangkat desa belum memahami sepenuhnya wewenang yang dimiliki desa saat ini, meski sudah lahir UU NO. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Asas subsidiaritas dan rekognisi belum sepenuhnya dimanfaatkan sebagai kekuatan dalam mengolah potensi dan aset yang dimilikinya sesuai amanat UU Desa. Bahkan, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang merupakan sebuah unit usaha yang diproyeksikan sebagai perangsang kemandirian ekonomi di desa pun terlihat loyo.Mirisnya, fenomena ini diakui langsung oleh Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Dilaporkan bahwa dari jumlah BUMDes yang mencapai 39.149 unit yang tersebar di Tanah Air, separuh lebihnya telah mati suri. Kendala utamanya adalah mengenai pengelolaan yang belum profesional, serta konsep pembangunan desa yang selama ini masih sebatas pemahaman pembangunan fisik dan arahan secara instruktif dari atas.
Selain itu, kegilaan terhadap popularitas menjadikan pembangunan fisik lebih diprioritaskan. Hal ini karena ada bentuk fisik yang terlihat sehingga lebih mudah dijadikan sebagai sebuah prestasi. Berbeda dengan proyek pemberdayaan yang lebih bersifat program di mana hasilnya tidak terlihat secara fisik. Lemahnya pembangunan sumber daya manusia (SDM) inilah yang membuat kapasitas kelembagaan dan kewirausahaan desa tidak berkembang. Ini mengakibatkan berbagai BUMDes yang ada di perdesaan hanya menjadi sebuah seremonial semata tanpa ada keberlanjutan yang jelas.
Dengan potret Desa yang demikian, tidak mengherankan bila perdesaan selalu menjadi mangsa dalam berbagai problematika. Mulai dari pengangguran, inflasi, kelaparan, dan pada akhirnya semua bermuara pada sebuah krisis multidimensional yaitu kemiskinan. Padahal, ketika potensinya bisa dimaksimalkan, desa mampu menjadi tulang punggung sebuah negara dalam meningkatkan perekonomian.
Banyak dari negara-negara kawasan Asia yang mampu menyulap desa menjadi sebuah penggerak ekonomi. Di antaranya ada Korea Selatan dengan konsep Samael Udong. Pada konsep ini negara hadir sebagai fasilitator dan memberikan bantuan strategis, serta menstimulus jiwa kepemimpinan pemimpin desa untuk menghimpun kesukarelaan masyarakat dalam membangun desa. Hasilnya pendapatan rata-rata setiap warga Korea Selatan per tahun melonjak tujuh kali lipat dari pendapatan per tahun rata-rata orang Indonesia.
Ataupun konsep Isson Ippin Undo atau dikenal dengan "one village one product" yang diusung oleh Jepang. Dalam konsep Isson Ippin Undo, masyarakat diberikan pemahaman untuk dapat menghasilkan spesialisasi barang khas dengan nilai tambah yang tinggi. Satu desa dirangkul untuk fokus dan mampu menghasilkan satu produk utama yang kompetitif serta mampu bersaing di tingkat global namun tetap memiliki ciri karakteristik dari desa tersebut. Hasilnya sampai saat ini, Jepang mampu menyulap lebih dari 1.000 desa primitif menjadi sebuah desa yang modern dan menjadi pusat bisnis.
Bila dilihat dari prestasi dua negara tersebut. Aktor protagonis dalam pembangunan perdesaan ada dalam diri masyarakat dan para pemangku kepentingan di desa. Pemerintah hanya sebagai pemeran pemanis yang fungsinya menstimulus dan memfasilitasi berbagai inovasi dan kreasi yang dihasilkan oleh elemen masyarakat di perdesaan. Hal ini menegaskan bahwa kualitas SDM yang tinggi menjadi kunci keberhasilan sebuah desa meraih kemandirian ekonomi.
Pasar Desa
Telah disadari bahwa kendala utama memproyeksikan kemandirian desa adalah perihal kurangnya SDM yang mumpuni, kreatif, serta inovatif. Pada fase ini generasi yang dianugerahi tiga komponen ini adalah para pemuda milenial. Banyak dari perdesaan yang kering kreasi karena pemudanya enggan berkontribusi karena sulitnya akses dalam berpendapat. Selain itu pola pikir pragmatis yang begitu masif menjadi penyebab dari kurangnya partisipasi para pemuda.
Sebenarnya tidak sedikit desa yang mulai mencari dan melakukan resolusi demi sebuah kemandirian. Di antaranya terdapat di Desa Payung, sebuah desa kecil di pinggiran barat Kabupaten Kendal, Jawa Tengah yang bersebelahan dengan Kota Semarang. Desa tersebut memproyeksikan sebuah pasar desa tradisional yang ber-setting sangat sederhana. Dimulai dari segelintir pemuda, Desa Payung mulai menginisiasi sebuah pasar desa tradisional. Tanpa menunggu ulur tangan pemerintah desa, mereka bertekad untuk membuka lapangan pekerjaan dengan menyediakan fasilitas pasar sederhana di desa mereka.
Di bawah pohon rindang yang disusur oleh jalan setapak desa, serta berdampingan dengan sungai disulap sebagai sebuah pasar. Konsep yang ditawarkan pun sederhana. Dengan setting tempat yang dicat berwarna pelangi, serta dihiasi payung-payung yang menggantung di langit-langit menjadikan kesan "instagramable" begitu kental. Dan hanya masyarakat desa setempat saja yang diperbolehkan membuka lapak di pasar tersebut. Untuk menghindari persaingan yang tidak sehat, para pemuda ini juga mengeluarkan peraturan mengenai produk-produk yang dijual. Setiap pelapak tidak diperbolehkan menjual barang ataupun produk yang sama persis dengan pelapak lainnya. Dan para pemuda itu mengharuskan pada pelapak untuk menjual produk tradisional saja.
Selain diramaikan oleh penjual dan pembeli, para pemuda ini juga menambah inovasi pasar dengan mengadakan berbagai pagelaran musik tradisional untuk mengiringi transaksi berbelanja masyarakat di pasar desa setempat. Para pengunjung pasar bisa memberikan sumbangan sukarela untuk pagelaran musik yang disediakan. Terhitung hingga saat ini, pasar desa tersebut berhasil menyediakan lahan pekerjaan baru bagi masyarakat desa. Diawali hanya dengan 4 penjual atau pelapak, lama kelamaan masyarakat sekitar pun ikut tergerak untuk meramaikan pasar yang disediakan. Kini, selama hampir 3 bulan berjalan, sudah ada ratusan pelapak dari masyarakat sekitar.
Dari potret tersebut, bisa kita lihat bahwa pasar bisa menjadi opsi sederhana untuk meningkatkan kemandirian ekonomi desa. Pasar merupakan sebuah unsur yang mampu menggerakkan ekonomi masyarakat. Di dalam pasar terdapat berbagai interaksi ekonomi yang mengakibatkan adanya transaksi penjual-pembeli secara langsung dan biasanya ada proses tawar-menawar, yang secara psikologis memberi kepuasan kepada konsumen karena ada rasa kekeluargaan dengan saling bertegur sapa.
Selain itu pasar desa berfungsi untuk memasarkan produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat desa dan sebagai sumber pendapatan bagi pemerintahan desa. Tentunya hal ini bisa menjadi solusi yang baik apabila kaum pemuda, masyarakat, dan pemerintah di perdesaan mampu bersinergi dengan baik. Dan menjadikan kepentingan kemandirian dan pemberdayaan dalam membangun desa sebagai cita-cita bersama.
Muhammad Iqbal mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Walisongo Semarang, aktif di Forum Studi Hukum dan Ekonomi Islam dan penggiat lingkungan di Komunitas KerDUS
(mmu/mmu)
Posted By : LumpaCom - Informasi Tiada Henti
0 Response to "Membangun Pesona Pasar Desa - detikNews"
Posting Komentar